Rabu, 14 Mei 2014

hadits mengidolakan artis



MENGIDOLAKAN ARTIS
Disusun sebagai tugas untuk memenuhi mata kuliah Al Hadits
Dosen : Muhammad Syafi’, M. Pdi

Description: C:\Users\User\Documents\GAMBAR\STAI DIPO.bmp


Disusun oleh:
1.      Denok Muktiari
2.      Fiqih Zulfikri
3.      Nining Sustiani




PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
STAI DIPONEGORO
TULUNGAGUNG
2012


DAFTAR ISI

JUDUL…………………………………………………………………………………...i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………..ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………….....iii
BAB I PENDAHULUAAN
A.    Latar Belakang………………………………………………………………1
B.     Rumusan Masalah…………………………………………………………...1
C.     Tujuan Makalah……………………………………………………………..1
BAB II PEMBAHASAN
A.       Hadits 1 dan Penjelasan…………………………………………………….2
B.       Hadits 2 dan Penjelasan…………………………………………………….4
C.       Hadits 3 dan Penjelasan…………………………………………………….5
D.       Memilih Idola Yang Menjadi Teladan……………………………………..5
BAB III PENUTUP…………………………………………………



BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang
Keinginan memiliki idola atau orang yang dikagumi dan diteladani sudah menjadi fitrah setiap manusia. Idola bermakna seseorang yang yang menjadi pujaan hati, menjadi panutan dalam keseharian, baik dalam hal kebiasaannya, gaya bicara, model pakaian, hingga model rambutnya.
Saat ini terjadi fenomena yang sangat memprihatinkan. Sebagian umat Islam terjebak pada kekeliruan dalam memilih idolaatau panutan hidup. Ukuran untuk menilai pantas atau tidaknya seseorang untuk dijadikan panutan bukan lagi akidah dan moralitas, tetapi keistimewaan lahiriyah dan popularitas yang dimilikinya. Sehingga tak mengherankan bila saat ini banyak orang yang meniru gaya hidup para pemain sepak bola, kaum selebritis, paranormal dan tokoh-tokoh maksiat pada umumnya.
Bahkan pada sebagian masyarakat kita, telah terjadi pengkultusan terhadap sosok yang dianggap sebagai tokoh atau idola tanpa menyelidiki terlebih dahulu sisi akidah dan akhlaknya. Tokoh idola ini diikuti perkataannya, ditiru perbuatannya tanpa ditimbang berdasarkan agama. Bahkan justru sebaliknya, perkataan dan perbuatannya dijadikan acuan kebenaran dalam beragama.

B.            Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas tersusunlah rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana sabda Rasulullah dan Hadist yang erat kaitannya dalam memilih idola?
2.      Mengapa Rasul mengingatkan dalam Hadist tersebut?
3.      Bagaimana cara memilih idola yang baik demi mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat?
C.           Tujuan Makalah
1.      Mengetahui sabda Rasulullah atau Hadist yang erat kaitannya dalam memilih idola
2.      Mengetahui apa alasan Rasul mengingatkan dalam Hadist tersebut
3.      Mengetahui cara memilih idola yang baik demi mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat.

BAB II
PEMBAHASAN

Hukum mengidolakan seseorang tergantung dari sebab kenapa ia mengidolakan orang tersebut? Apabila sebabnya haram maka hukumnya haram, apabila sebabnya halal maka hukumnya halal, demikian pula apabila sebabnya kufur maka ia dihukumi kafir. Mengidolakan seorang kafir karena permainan sepakbola yang menawan maka hukumnya halal, mengidolakan seorang muslim karena kemaksiatan yang dilakukan maka hukumnya maksiat. Mencintai seorang kafir karena setuju dengan kekafirannya maka ia kafir. Dalam keadaan dipaksa, seseorang yang mengucapkan kata-kata kekafiran akan tetapi hatinya tetap beriman tidak dihukumi kafir Allah Berfirman: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. ( An Nahl : 106)

A.           Hadits 1 dan Penjelasan
1.      Hadits:
عَنْ أَبِي وَائِلٍ, عَنْ عَبْدِ اللّهِ (بْنِ مَسْعُوْدٍ) قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَىَ رَسُولِ اللّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللّهِ, كَيْفَ تَرَىَ فِي رَجُلٍ أَحَبّ قَوْماً وَلَمّا يَلْحَقْ بِهِمْ؟ قَالَ رَسُولُ اللّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ: «الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبّ». رواه مسلم
Dari Abu Wa’il dari ‘Abdullah bin Mas’ud, dia berkata : “Seseorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW sembari berkata : ‘Wahai Rasulallah apa pendapatmu terhadap laki-laki yang mencintai suatu kaum padahal dia belum pernah (sama sekali) berjumpa dengan mereka?’ Rasulallah bersabda : “Seseorang itu adalah bersama orang yang dia cintai.” (Riwayat Muslim)
Hadits ini diriwayatkan juga oleh Imam Bukhâry, at-Turmuzy, an-Nasaiy, Abu Daud, Ahmad dan ad-Darimy.




2.      Penjelasan
Di dalam riwayat yang lain, disebutkan dengan lafazh “Engkau bersama orang yang engkau cintai”. Demikian pula dengan hadits yang maknanya: “Ikatan Islam yang paling kuat adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah”.

Anas bin Malik mengomentarinya: “Setelah keislaman kami, tidak ada lagi hal yang membuat kami lebih gembira daripada ucapan Rasulullah: ‘engkau bersama orang yang engkau cintai’ ”. Lalu Anas melanjutkan: “Kalau begitu, aku mencintai Allah dan Rasul-Nya, Abu Bakar serta ‘Umar. Aku berharap kelak dikumpulkan oleh Allah bersama mereka meskipun aku belum berbuat seperti yang telah mereka perbuat”.

Imam an-Nawawy, setelah menyebutkan beberapa hadits terkait dengan hadits diatas, menyatakan: “Hadits ini mengandung keutamaan mencintai Allah dan Rasul-Nya, orang-orang yang shalih, orang-orang yang suka berbuat kebajikan baik yang masih hidup atau yang telah mati. Dan diantara keutamaan mencintai Allah dan Rasul-Nya adalah menjalankan perintah dan menjauhi larangan keduanya serta berakhlaq dengan akhlaq islami. Di dalam mencintai orang-orang yang shalih tidak mesti mengerjakan apa saja yang dikerjakannya sebab bila demikian halnya maka berarti dia adalah termasuk kalangan mereka atau seperti mereka. Pengertian ini dapat diambil dari hadits setelah ini, yakni (ucapan seseorang yang bertanya tentang pendapat beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengenai) seseorang yang mencintai suatu kaum sementara dia tidak pernah sama sekali bertemu dengan mereka (seperti yang tersebut di dalam hadits diatas).

Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah mengaitkan makna cinta tersebut selama seseorang itu mencintai Allah dan Rasul-Nya sebab orang yang mencintai Allah, maka dia pasti mencintai para Nabi-Nya karena Dia Ta’ala mencintai mereka dan mencintai setiap orang yang meninggal di atas iman dan taqwa. Maka mereka itulah Awliyâ Allah (para wali Allah) yang Allah cintai seperti mereka yang dipersaksikan oleh Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam masuk surga, demikian pula dengan Ahli Badar dan Bai’ah ar-Ridlwan. Jadi, siapa saja yang telah dipersaksikan oleh Rasulullah masuk surga, maka kita bersaksi untuknya dengan hal ini sedangkan orang yang tidak beliau persaksikan demikian, maka terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama; sebagian ulama mengatakan: ‘tidak boleh dipersaksikan bahwa dia masuk surga dan kita juga tidak bersaksi bahwa Allah mencintainya’. Sedangkan sebagian yang lain mengatakan: ‘justeru orang yang memang dikenal keimanan dan ketakwaannya di kalangan manusia serta kaum Muslimin telah bersepakat memuji mereka seperti ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, al-Hasan al-Bashry, Sufyan ats-Tsaury, Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’iy, Ahmad, Fudlail bin ‘Iyadl, Abu Sulaiman ad-Darany (al-Kurkhy), ‘Abdullah bin Mubarak dan selain mereka, kita mesti bersaksi bahwa mereka masuk surga’.

Rasulallah melalui Hadits tersebut, mengingatkan agar orang beriman selektif dalam menjadikan seseorang sebagai idola dan teladan dalam kehidupan. Sebab secara psikologis seseorang akan terpengaruh terhadap sesuatu yang melakat pada sang idola, mulai dari cara dan model berpakaian, hingga kebiasaannya dalam hidup keseharian. Jika yang diidolakan adalah orang yang salah, maka akan berdampak pula pada kesalahan dalam menapaki kehidupan ini. Tidak hanya berbuah keburukan di dunia, bahkan kesalahan dalam memilih idola juga akan berbuah di akhirat. Sebab di akhirat nanti setiap orang akan bernasib dengan orang yang dicintai ketika di dunia, sebagaimana yang disebutkan pada hadits di atas.

B.       Hadits 2 dan Penjelasannya
1.      Hadits 2
Salah satu watak bawaan manusia sejak diciptakan Allah Ta’ala adalah kecenderungan untuk selalu meniru dan mengikuti orang lain yang dikaguminya, baik dalam kebaikan maupun keburukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“اختلف تناكر وما ائتلف منها ف تعارفمامجندة، جنود الأرواح”

“Ruh-ruh manusia adalah kelompok yang selalu bersama, maka yang saling bersesuaian di antara mereka akan saling dekat, dan yang tidak bersesuaian akan saling berselisih”
2.      Penjelasan
Hadits ini menjelaskan mengenai sosok figure yang patut untuk diteladani. Oleh karena itulah, metode pendidikan dengan menampilkan contoh figur untuk diteladani adalah termasuk salah satu metode pendidikan yang sangat efektif dan bermanfaat.

C.    Hadits 3 dan penjelasan
1.      Hadits 3
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan dengan keras bahaya perbuatan ini dalam sabda beliau: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka”
2.      Penjelasan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – berkata, “Sesungguhnya kesamaan dalam (penampilan) lahir (antara dua orang manusia) akan mewariskan kasih sayang, cinta dan loyalitas (antara keduanya) dalam batin/hati, sebagaimana kecintaan dalam hati akan mewariskan kesamaan dalam (penampilan) lahir.

Hal ini dapat dirasakan dan dibuktikan dengan percobaan. Sampai-sampai (misalnya ada) dua orang yang berasal dari satu negeri, kemudian mereka bertemu di negeri asing, maka (akan terjalin) di antara mereka berdua kasih sayang dan cinta yang sangat mendalam, meskipun di negeri asal mereka keduanya tidak saling mengenal atau (bahkan saling memusuhi).

D.    Memilih Idola Yang Menjadi Teladan
Sebagai seorang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tentu kita wajib memilih idola yang baik bagi keluarga kita, yang akan memberi manfaat bagi pembinaan rohani mereka.

Dalam hal ini, idola terbaik bagi seorang muslim adalah Nabi mereka, nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang diutus oleh Allah Ta’ala untuk menyempurnakan akhlak yang mulia, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”
Dan ketika Ummul mu’minin ‘Aisyah t ditanya tentang ahlak (tingkah laku) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menjawab, “Sungguh akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al-Qur’an“

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok teladan dan idola yang sempurna bagi orang-orang yang beriman kepada Allah yang menginginkan kebaikan dan keutamaan dalam hidup mereka.

Dalam hal ini, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barangsiapa di antara kamu yang ingin mengambil teladan, maka hendaknya dia berteladan dengan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena mereka adalah orang-orang yang paling baik hatinya di umat ini, paling dalam pemahaman (agamanya), paling jauh dari sikap berlebih-lebihan, paling lurus petunjuknya, dan paling baik keadaannya, mereka adalah orang-orang yang dipilih oleh Allah untuk menjadi sahabat nabi-Nya, maka kenalilah keutaman mereka dan ikutilah jejak-jejak mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas petunjuk yang lurus”

BAB III
PENUTUP

Memperoleh keselamatan dalam kehidupan baik di dunia lebih-lebih di akhirat merupakan keinginan setiap muslim. Oleh karena itu segala sesuatu yang dilakukan harus mengarah pada tercapainya cita-cita keselamatan tersebut. Dan perkara yang bisa membawa kerugiaan dan petaka, baik di dunia maupun di akhirat harus dijauhi sekuat mungkin.
Dalam hal mengidolakan seseorang  (artis) harus diarahkan untuk mendapatkan keselamatan baik di dunia maupun di akhirat. Tiada satu pun manusia yang bisa memberi jaminan keselamatan dan kebahagiaan kepada orang yang mengikutinya, selain Rasulullah saw. Jadi mencintai dan meneladani Rasulullah merupakan jalan yang kita tempuh karena ia merupakan jalan yang dapat mengantarkan kita meraih keselamatan dan kebahagiaan hidup. Amiin  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar